Hadis: Larangan bagi Orang yang Ihram untuk Menikah atau Menikahkan
Teks Hadis
Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ، وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ
“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, atau menikahkan, dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكِحُ، وَلَا يَخْطُبُ، وَلَا يُخْطَبُ عَلَيْهِ
“Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikah, menikahkan, meminang, atau meminang untuk orang lain.” (HR. Ibnu Hibban, 9: 4124. Dinilai sahih oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika sedang ihram.” (HR. Bukhari no. 5114 dan Muslim no. 1410)
Sedangkan dalam riwayat Muslim yang lain, dari Yazid bin Al-Asham, dari Maimunah binti Al-Harits radhiyallahu ‘anha. Yazid berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menikahinya (Maimunah) ketika selesai ihram.” (HR. Muslim no. 1411)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Hadis ini adalah dalil bahwa muhrim (orang yang sedang berihram) itu dilarang untuk menikah (يَنْكِحُ) atau menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya (يُنْكِحُ). Orang yang sedang berihram juga dilarang untuk meminang wanita (يَخْطُبُ), baik untuk dirinya sendiri atau mewakili keluarganya, atau menerima pinangan dari orang lain (يُخْطَبُ عَلَيْهِ). Hadis tersebut terdapat dalam lafal penafian (لَا) yang bermakna larangan, sehingga konsekuensinya adalah cacatnya akad.
Hikmah dari larangan ini adalah untuk menjauhkan orang yang sedang ihram dari syahwat keduniawian, karena khitbah (meminang) adalah sarana/jalan (wasilah) menuju akad nikah. Sedangkan akad nikah adalah wasilah menuju jimak (hubungan badan) yang diharamkan ketika sedang ihram. Ketentuan ini adalah penguat adanya kaidah saddu adz-dzari’ah (menutup sarana atau jalan) menuju perkara yang haram. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan wajibnya saddu adz-dzari’ah dari 99 sisi pendalilan, dan beliau menyebutkan masalah ini sebagai salah satu contoh. [1]
Kandungan kedua
Jumhur ulama mengambil kesimpulan dari hadis riwayat Maimunah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, yaitu selesai dari ihram. Kesimpulan ini selaras dengan hadis dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang mengandung larangan untuk menikah dalam kondisi ihram. Karena tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sesuatu, namun justru menerjang larangan tersebut. Apabila kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perkara yang dilarang, maka ada dua kemungkinan, bisa jadi hal itu merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau untuk menjelaskan bahwa larangan tersebut tidak sampai derajat haram.
Akan tetapi, karena terdapat riwayat lain yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam kondisi sudah tahallul, maka inilah yang benar, dan inilah yang diamalkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui satu pun sahabat yang meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah radhiyallahu ‘anha dalam kondisi ihram, kecuali riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma [2]. Riwayat yang kami sebutkan itu bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas. Berkebalikan (bertentangan) dengan riwayat jamaah (sejumlah orang) itu perlu diwaspadai. Hal ini karena satu orang itu lebih dekat dengan kesalahan. Mayoritas dari hadis Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma itu bertentangan dengan riwayat yang kami sebutkan. Jika demikian kondisinya, maka riwayat-riwayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil. Wajib mencari dalil dalam masalah ini dari riwayat yang lain. Maka kita dapatkan riwayat dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menikah dalam kondisi ihram. Wajib bagi kita kita untuk mengembalikan masalah ini ke riwayat tersebut yang tidak ada pertentangan dengan dalil lainnya. Karena mustahil beliau melarang sesuatu kemudian melakukannya, apalagi dikuatkan dengan praktik khulafaur rasyidin terhadap hadis tersebut … “ [3]
Di antara yang menguatkan kesimpulan jumhur ulama adalah poin-poin berikut ini.
Pertama, Maimunah radhiyallahu ‘anha adalah pelaku langsung dalam peristiwa ini (shahibul qishshah). Tidak diragukan lagi bahwa pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih mengetahui realita senyatanya tentang kondisi dirinya sendiri daripada orang lain. Termasuk di antara kaidah ushuliyyah dalam menguatkan (tarjih) satu dalil adalah bahwa riwayat dari pelaku langsung suatu peristiwa itu lebih didahulukan dari riwayat yang lainnya, karena dia dinilai lebih mengetahui keadaan senyatanya.
Kedua, Yazid bin Al-Asham rahimahullah [4] meriwayatkan dari Maimunah radhiyallahu ‘anha tentang hal tersebut, kemudian Yazid berkata,
وَكَانَتْ خَالَتِي، وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ
“Maimunah adalah bibiku dan juga bibi dari Ibnu ‘Abbas.” (HR. Muslim no. 1411)
Ketiga, riwayat dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berkata,
تَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ حَلَالٌ، وَبَنَى بِهَا وَهُوَ حَلَالٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah dan membangun (rumah tangga) dengan Maimunah ketika sudah tahallul, dan aku adalah utusan (mediator) di antara keduanya.” [5]
Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu adalah mediator di antara keduanya, sehingga beliau adalah saksi langsung peristiwa akad nikah tersebut. Maka Abu Rafi’ dinilai lebih mengetahui kondisi senyatanya dibandingkan dengan orang lain.
Keempat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma masih kecil ketika peristiwa tersebut, sehingga beliau tidak mengetahui realita senyatanya. [6] Oleh karena itu, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata,
وهم ابن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم
“Ibnu ‘Abbas salah paham dengan peristiwa menikahnya Maimunah dalam kondisi ihram.” [7]
Imam Ahmad rahimahullah membawakan riwayat tersebut dan beliau berhujah dengannya. [8]
Adapun Ibnu Hibban rahimahullah berpendapat bahwa maksud perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma adalah “ketika mau masuk ihram” (sehingga belum ihram). [9]
Namun, pendapat Ibnu Hibban ini dibantah oleh Ash-Shan’ani rahimahumallah,
وهو تأ ويل بعيد، لا تساعد عليه ألفاظ الحديث
“Ini adalah takwil yang jauh, tidak didukung oleh lafal hadis.” [10]
Demikian pembahasan hadis ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [11]
[Selesai]
***
@30 Muharram 1446/ 5 Agustus 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel asli: https://muslim.or.id/97491-hadis-larangan-bagi-orang-yang-ihram-untuk-menikah-atau-menikahkan.html